A. Pengertian Makna
Makna kata merupakan bidang kajian yang
dibahas dalam ilmu semantik. Semantik berkedudukan sebagai salah satu cabang
ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna suatu kata dalam bahasa,
sedangkan linguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa lisan dan tulisan yang
memiliki ciri-ciri sistematik, rasional, empiris sebagai pemerian struktur dan
aturan-aturan bahasa (Nurhayati, 2009:3).
Berdasarkan pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa makna suatu kata dalam bahasa dapat diketahui dengan landasan
ilmu semantik. Hornby berpendapat bahwa
makna ialah apa yang kita artikan atau apa yang kita maksud (Pateda, 2001:45).
Poerwadarminta menyatakan makna adalah arti atau maksud. Kata makna diartikan:
(i) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno
itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada
suatu bentuk kebahasaan (Pateda, 2001:45).
Makna ialah hubungan antara bahasa dengan
dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga
dapat saling dimengerti (Aminuddin, 2011:53). Dari batasan pengertian itu dapat
diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (1) makna
adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (2) penentuan hubungan
terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat
digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti.
Menurut pendapat Fatimah (1993:5) makna adalah
pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama
kata-kata). Menurut Palmer makna hanya menyangkut intrabahasa (Fatimah,
1993:5). Sejalan dengan pendapat tersebut, Lyons menyebutkan bahwa mengkaji
makna atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang
berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda
dari katakata lain (Fatimah, 1993:5).
Kridalaksana (1993:148) berpendapat makna
(meaning, linguistic meaning, sense) yaitu: (1) maksud pembicara, (2) pengaruh
satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok
manusia, (3) hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara
bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang
ditunjuknya, (4) cara menggunakan lambang-lambang bahasa. Dari beberapa
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa makna merupakan arti dari suatu kata
atau maksud pembicara yang membuat kata tersebut berbeda dengan kata-kata lain.
B. Jenis-jenis Makna
Makna suatu kata merupakan bahan yang dikaji
dalam ilmu semantik. Makna kata terbagi menjadi beberapa jenis. Seperti yang
dikemukakan oleh Palmer jenis makna terdiri dari: (i) makna kognitif (cognitive
meaning), (ii) makna ideasional (ideational meaning), (iii) makna denotasi
(denotasional meaning), (iv) makna proposisi (propositional meaning), sedangkan
Shipley berpendapat bahwa makna mempunyai jenis: (i) makna emotif (emotif
meaning), (ii) makna kognitif (cognitive meaning) atau makna deskriptif
(descriptive meaning), (iii) makna referensial (referential meaning), (iv)
makna pictorial (pictorial meaning), (v) makna kamus (dictionary meaning), (vi)
makna samping (fringe meaning), dan (vii) makna inti (core meaning). Leech
(dalam Chaer, 2009:61) membedakan adanya tujuh tipe makna, yaitu (1)
makna konseptual, (2) makna konotatif, (3) makna stilistika, (4) makna afektif, (5)
makna refleksi, (6) makna kolokatif, (7) makna tematik (Pateda, 2001:96).
Pendapat lain dikemukakan oleh Chaer
(2009:61), yang membedakan jenis makna menjadi beberapa kriteria. Berdasarkan
jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal,
berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya
makna referensial dan makna nonreferesial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa
pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna
konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna
istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan kriteria lain atau
sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiasif, kolokatif,
reflektif, idiomatik, dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa jenis makna memang sangat beragam. Keberagaman makna
tampak dari masing-masing pendapat. Pateda (2001:97) membagi jenis-jenis makna
menjadi dua puluh Sembilan yaitu makna afektif merupakan makna yang muncul
akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan kata atau kalimat,
makna deskriptif (descriptive meaning) yang biasa disebut pula makna kognitif
(cognitive meaning) atau makna referensial (referential meaning) adalah makna
yang terkandung di dalam setiap kata, makna ekstensi adalah makna yang mencakup
semua ciri objek atau konsep, makna emotif adalah makna yang timbul akibat
adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara mengenai terhadap apa yang
dipikirkan atau dirasakan, makna gereflekter yaitu makna kata yang sering
berhubungan dengan kata atau ungkapan tabu, makna gramatikal adalah makna yang
muncul sebagai akibat berfungsinya kata dalam kalimat, makna ideasional adalah
makna yang muncul akibat penggunaan kata yang memiliki konsep, makna intensi
adalah makna yang menekankan maksud pembicara, makna khusus adalah makna kata
atau istilah yang pemakaiannya terbatas pada bidang tertentu, makna kiasan
adalah pemakaian kata yang maknanya tidak sebenarnya, makna kognitif adalah
makna yang ditunjukan oleh acuannya, makna unsur bahasa yang sangat dekat
hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek atau gagasan, dan dapat dijelaskan
berdasarkan analisis komponennya.
Makna selanjutnya adalah makna kolokasi
biasanya berhubungan dengan penggunaan beberapa kata di dalam lingkungan yang
sama, makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna
konstruksi adalah makna yang terdapat di dalam suatu konstruksi kebahasaan,
makna kontekstual muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan konteks,
makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam
bentuk leksem atau berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap, seperti yang
dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu, makna lokusi, makna luas
menunjukan bahwa makna yang terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang
dipertimbangkan, makna pictorial adalah makna yang muncul akibat bayangan
pendengar atau pembaca terhadap kata yang didengar atau dibaca, makna
proposisional adalah makna yang muncul apabila seseorang membatasi
pengertiannya tentang sesuatu, makna pusat adalah makna yang dimiliki setiap
kata meskipun kata tersebut tidak berada di dalam konteks kalimat, makna
referensial adalah makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk
oleh kata, makna sempit merupakan makna yang berwujud sempit pada keseluruhan
ujaran, makna stilistika adalah makna yang timbul akibat pemakaian bahasa,
makna tekstual adalah makna yang timbul setelah seseorang membaca teks secara
keseluruhan, makna tematis akan dipahami setelah dikomunikasikan oleh pembicara
atau penulis melalui urutan kata-kata, makna umum adalah makna yang menyangkut
keseluruhan atau semuanya, tidak menyangkut yang khusus atau tertentu, makna
denotatif adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan
lugas antara suatu bahasa dan wujud di luar bahasa yang diterapi satuan bahasa
itu secara tepat, dan makna konotatif adalah makna yang muncul sebagai akibat
asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau kata yang
dibaca.
Berikut akan dibahas mengenai jenis-jenis
makna berdasarkan berbagai sumber yang telah dikemukakan oleh para ahli bahasa.
1. Makna Sempit
Makna
sempit (narrowed meaning)
adalah makna yang
lebih sempit dari keseluruhan ujaran.
Makna yang asalnya
lebih luas dapat
menyempit, karena dibatasi
(Djajasudarma, 1993). Bloomfield mengemukakan adanya makna sempit dan makna
luas di dalam perubahan makna ujaran.
Makna luas dapat
menyempit, atau suatu
kata yang asalnya
memiliki makna luas (generik)
dapat menjadi memiliki
makna sempit (spesifik)
karena dibatasi. Perubahan makna
suatu bentuk ujaran
secara semantik berhubungan, tetapi ada
juga yang menduga
bahwa perubahan terjadi
dan seolah-olah bentuk ujaran hanya menjadi objek yang relatif permanent, dan makna hanya
menempel seperti satelit yang
berubah-ubah. Sesuatu yang
menjadi harapan adalah menemukan alasan
mengapa terjadi perubahan,
melalui studi makna
dengan segala perubahannya yang terjadi terus-menerus.
Kridalaksana (1993: 133),
memberikan penjelasan bahwa
makna sempit (specialised
meaning, narrowed meaning) adalah makna ujaran yang lebih sempit daripada makna
pusatnya; misalnya, makna
kepala dalam kepala
batu. Selanjutnya,
Djajasudarma (1993: 7-8)
menjelaskan bahwa kata-kata
bermakna luas di dalam
bahasa Indonesia disebut
juga makna umum
(generik) digunakan untuk mengungkapkan
gagasan atau ide
yang umum. Gagasan
atau ide yang umum
bila dibubuhi rincian
gagasan atau ide,
maka maknanya akan
menyempit (memiliki makna sempit), seperti pada contoh berikut.
(1) pakaian dengan pakaian wanita
(2) saudara dengan saudara kandung
saudara tiri
(3)
garis dengan garis bapak
garis miring
2. Makna Luas
Makna
luas (widened meaning
atau extended meaning)
adalah makna yang terkandung pada
sebuah kata lebih
luas dari yang
diperkirakan (Djajasudarma,
1993: 8). Dengan
pengertian yang hampir
sama, Kridalaksana (1993:
133) memberikan penjelasan bahwa
makna luas (extended
meaning, situational meaning) adalah
makna ujaran yang
lebih luas daripada
makna pusatnya; misalnya makna
sekolah pada kalimat Ia bersekolah lagi di SESKOAL yang lebih luas dari makna
‘gedung tempat belajar’.
Kata-kata yang memiliki
makna luas digunakan
untuk mengungkapkan gagasan atau
ide yang umum,
sedangkan makna sempit adalah
kata-kata yang bermakna khusus
atau kata-kata yang
bermakna luas dengan
unsure pembatas. Kata-kata
bermakna sempit digunakan untuk menyatakan seluk-beluk atau rincian gagasan
(ide) yang bersifat umum.
Kata-kata yang berkonsep memiliki makna luas dapat muncul dari makna
yang sempit, seperti pada contoh bahasa Indonesia berikut.
pakaian dalam dengan pakaian
kursi roda dengan kursi
menghidangkan dengan menyiapkan
memberi dengan menyumbang
warisan dengan harta
3. Makna Kognitif
Makna
kognitif disebut juga
makna deskriptif atau
denotatif adalah makna
yang menunjukkan adanya hubungan
antara konsep dengan
dunia kenyataan. Makna kognitif adalah
makna lugas, makna
apa adanya. Makna
kognitif tidak hanya dimiliki kata-kata
yang menunjuk benda-benda
nyata, tetapi mengacu
pula pada bentuk-bentuk yang
makna kognitifnya khusus (Djajasudarma, 1993:9).
Kridalaksana (1993) dalam
Kamus Linguistik, memberikan
penjelasan bahwa makna kognitif
(cognitive meaning) adalah
aspek-aspek makna satuan bahasa
yang berhubungan dengan
ciri-ciri dalam alam di luar
bahasa atau penalaran.
Makna kognitif sering
digunakan dalam istilah
teknik. Seperti telah disebutkan bahwa makna kognitif disebut
juga makna deskriptif, makna denotatif, dan
makna kognitif konsepsional.
Makna ini tidak
pernah dihubungkan dengan hal-hal lain
secara asosiatif, makna
tanpa tafsiran hubungan dengan
benda lain atau peristiwa
lain. Makna kognitif
adalah makna sebenarnya,
bukan makna kiasan atau
perumpamaan.
4. Makna Konotatif dan Emotif
Makna
kognitif dapat dibedakan
dari makna konotatif
dan emotif berdasarkan hubungannya, yaitu
hubungan antara kata
dengan acuannya (referent)
atau hubungan kata dengan
denotasinya (hubungan antara
kata (ungkapan) dengan orang,
tempat, sifat, proses,
dan kegiatan luar
bahasa; dan hubungan
antara kata (ungkapan) dengan
ciri-ciri tertentu yang bersifat konotatif atau emotif.
Makna konotatif adalah
makna yang muncul
dari makna kognitif
(lewat makna kognitif), ke dalam makna
kognitif tersebut ditambahkan
komponen makna lain (Djajasudarma, 1993).
Sementara Kridalaksana (1993),
memberikan pengertian bahwa makna konotatif (connotative meaning) sama
dengan konotasi, yaitu aspek makna
sebuah atau sekelompok
kata yang didasarkan atas
perasaan atau pikiran yang
timbul atau ditimbulkan
pada pembicara (penulis)
dan pendengar (pembaca).
Makna konotatif adalah
makna lain yang
ditambahkan pada makna denotative yang
berhubungan dengan nilai
rasa dari orang atau
kelompok orang yang menggunakan kata
tersebut. Misalnya, kata babi, pada orang yang beragama Islam kata babi
tersebut mempunyai konotasi negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak
bila mendengar kata
tersebut. Contoh lain,
kata kurus, berkonotasi netral,
artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan. Tetapi kata ramping, yang bersinonim
dengan kata kurus memiliki konotasi
positif, nilai rasa
yang mengenakkan, orang akan
senang bila dikatakan ramping. Begitu
juga dengan kata kerempeng, yang
juga bersinonim dengan
kata kurus dan kata ramping, mempunyai konotasi yang
negatif, nilai rasa yang tidak mengenakkan, orang akan merasa tidak enak kalau
dikatakan tubuhnya kerempeng.
Makna konotatif dapat
dibedakan dari makna
emotif karena yang disebut pada bagian pertama bersifat negative
dan yang disebut kemudian bersifat positif. Makna konotatif
muncul sebagai akibat
asosiasi perasaan kita
terhadap apa yang diucapkan atau
apa yang didengar.
Makna konotatif atau
emotif sangat luas
dan tidak dapat diberikan
secara tepat. Makna
konotatif dan makna
emotif dapat dibedakan berdasarkan
masyarakat yang menciptakannya atau
menurut individu yang menciptakannya atau
menghasilkannya, dan dapat
dibedakan berdasarkan media yang
digunakan (lisan atau
tulisan), serta menurut
bidang yang menjadi isinya. Makna
konotatif berubah dari
zaman ke zaman.
Makna konotatif dan emotif dapat bersifat insidental.
Makna emotif (bahasa
Inggris emotive meaning)
adalah makna yang melibatkan perasaan
(pembicara dan pendengar;
penulis dan pembaca)
ke arah yang positif.
Makna ini berbeda
dengan makna kognitif
(denotatif) yang menunjukkan adanya
hubungan antara dunia
konsep (reference) dengan kenyataan, makna
emotif menunjuk sesuatu
yang lain yang tidak
sepenuhnya sama dengan yang terdapat dalam dunia kenyataan
(Djajasudarma, 1993).
Suatu kata dapat
memiliki makna emotif
dan bebas dari
makna kognitif, atau dua
kata dapat memiliki
makna kognitif yang
sama, tetapi kedua
kata tersebut dapat memiliki
makna emotif yang
berbeda. Makna emotif di
dalam bahasa Indonesia cenderung
berbeda dengan makna
konotatif; makna emotif cenderung mengacu kepada hal-hal
(makna) yang negatif.
5. Makna Referensial
Makna referensial (referential meaning)
adalah makna unsure bahasa yang sangat dekat
hubungannya dengan dunia
di luar bahasa
(objek atau gagasan),
dan yang dapat dijelaskan
oleh analisi komponen;
juga disebut denotasi;
lawan dari konotasi
(Kridalaksana, 1993: 133).
Sebuah kata atau
leksem disebut bermakna
referensial kalau ada referentnya, atau
acuannya. Kata-kata seperti kuda,
merah, dan gambar adalah
termasuk kata-kata yang
bermakna referensial karena
ada acuannya dalam
dunia nyata. Sebaliknya, kata-kata
seperti dan, atau, dan karena adalah termasuk
kata-kata yang tidak
bermakna referensial, karena
kata-kata itu tidak
mempunyai referent.
Djajasudarma (1993), menjelaskan
makna referensial adalah
makna yang berhubungan langsung
dengan kenyataan atau referent (acuan), makna referensial disebut juga
makna kognitif, karena
memiliki acuan. Makna
ini memiliki hubungan dengan
konsep, sama halnya dengan makna kognitif. Makna referensial memiliki hubungan
dengan konsep tentang sesuatu yang telah disepakati bersama oleh masyarakat
pemakai bahasa.
6. Makna Konstruksi
Makna
konstruksi (bahasa Inggris construction meaning)
adalah makna yang erdapat
di dalam konstruksi.
Misalnya, makna milik yang
diungkapkan dengan urutan kata
di dalam bahasa
Indonesia. Di samping
itu, makna milik
dapat diungkapkan melalui enklitik sebagai akhiran yang menunjukkan
kepunyaan.
Kridalaksana (1993), makna
konstruksi (construction meaning)
adalah makna yang terdapat
dalam konstruksi, misalnya,
‘milik’ yang dalam
bahasa Indonesia diungkapkan dengan urutan kata.
Contoh-contoh yang
diberikan Djajasudarma (1993)
mengenai makna konstruksi ini
antara lain:
1. Itu buku saya
2. Saya baca buku saya
3. Perempuan itu ibu saya
4. Rumahnya jauh dari sini
5. Di mana rumahmu?
7. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna
leksikal (bahasa Inggris lexical meaning,
semantic meaning, exsternal meaning) adalah
makna unsur-unsur bahasa
sebagai lambang benda,
peristiwa, dan lain-lain. Makna
leksikal ini dimiliki
unsur-unsur bahasa secara
tersendiri, lepas dari konteks.
Misalnya, kata culture
(bahasa Inggris) ‘budaya’,
di dalam kamus Shadily
& Echols disebutkan
sebagai nomina (kb)
dan artinya: (1) kesopanan, kebudayaan;
(2) pemeriharaan biakan
(biologi); sedangkan di
dalam Kamus Bahasa Indonesia
I, budaya adalah
nomina, dan maknanya;
(1) pikiran, akal budi;
(2) kebudayaan; (3)
yang mengenai kebudayaan,
yang sudah berkembang (beradab,
maju). Semua makna,
baik bentuk dasar
maupun bentuk turunan yang ada
dalam kamus disebut makna leksikal (Djajasudarma, 1993).
Masih
dalam hal makna,
Djajasudarma (1993) lebih
lanjut menjelaskan makna gramatikal
yang merupakan bandingan
bagi makna leksikal.
Makna gramatikal (bahasa Inggris grammatical meaning, functional
meaning, structural meaning,
internal meaning) adalah
makna yang menyangkut
hubungan intra bahasa, atau
makna yang muncul
sebagai akibat berfungsinya
sebuah kata di dalam
kalimat. Di dalam
semantik makna gramatikal
dibedakan dari makna leksikal. Makna
leksikal dapat berubah
ke dalam makna
gramatikal secara operasional.
Makna
leksikal secara umum
dapat dikelompokkan ke
dalam dua golongan besar,
yaitu makna dasar
dan makna perluasan,
atau makna denotatif (kognitif, deskriptif) dan makna
konotatif atau emotif.
Mengenai dua jenis
makna ini, Kridalaksana
(1993) menjelaskan makna
leksikal (lexical meaning,
semantic meaning, external
meaning) adalah makna unsur-unsur bahasa
sebagai lambang benda,
peristiwa, dan lain-lain;
makna leksikal ini dipunyai
unsur-unsur bahasa lepas
dari penggunaannya atau konteksnya. Selanjutnya,
makna gramatikal (grammatical
meaning, functional meaning, structural
meaning, internal meaning)
adalah hubungan antara
unsur-unsur bahasa dalam
satuan-satuan yang lebih
besar; misalnya, hubungan antara kata dengan kata lain dalam frase atau
klausa.
Dengan demikian makna
leksikal adalah makna
yang dimiliki atau
ada pada leksem atau
kata meski tanpa
konteks apa pun. Misalnya, leksem kuda, memiliki makna leksikal ‘sejenis
binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai’; leksem pensil mempunyai makna leksikal ‘sejenis alat tulis yang
terbuat dari kayu dan arang’; dan
leksem air memiliki makna leksikal
‘sejenis barang cair
yang biasa digunakan untuk
keperluan sehari-hari. Jadi, kalau
dilihat dari contoh-contoh tersebut, makna leksikal adalah
makna yang sebenarnya.
Lain dari makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses
gramatikal, seperti afiksasi,
reduplikasi, komposisi, dan
kalimatisasi. Misalnya,
proses afiksasi prefiks ber-
dengan dasar baju melahirkan makna
gramatikal ‘mengenakan atau memakai
baju’; dengan dasar
kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai
kuda’; dan dengan
dasar rekreasi melahirkan makna
gramatikal ‘melakukan rekreasi’.
8. Makna Ideasional
Makna
idesional dijelaskan Djajasudarma
(1993), makna idesional
(bahasa Inggris ideational meaning)
adalah makna yang
muncul sebagai akibat penggunaan kata yang berkonsep atau
ide yang terkandung di dalam satuan kata-kata,
baik bentuk dasar
maupun turunan. Kita
mengerti ide yang
terkandung di dalam kata
demokrasi, yakni istilah politik (1) (bentuk atau sistem) pemerintahan,
segenap rakyat turut
serta memerintah dengan
perantaraan wakil-wakilnya;
pemerintahan rakyat; (2)
gagasan atau pandangan
hidup yang mengutamakanpersamaan hak
dan kewajiban serta
perlakuaan yang sama
bagi semua warga negara.
Kata demokrasi ini kita lihat di dalam kamus, dan kalau diperhatikan
pula hubungannya dengan unsur lain dalam pemakaian kata tersebut, lalu kita
tentukan konsep yang menjadi
ide kata tersebut.
Demikian juga dengan
kata partisipasi mengandung
makna idesional ‘aktivitas
maksimal seseorang yang
ikut serta di dalam
suatu kegiatan (sumbangan
keaktifan)’. Dengan makna
idesional yang terkandung di
dalamnya kita dapat
melihat paham yang
terkandung di dalam makna suatu kata.
9. Makna Proposisi
Makna
proposisi (bahasa Inggris propositional meaning)
adalah makna yang muncul bila kita membatasi pengertian
tentang sesuatu. Kata-kata dengan makna
proposisi dapat kita
lihat di bidang
matematika, atau di
bidang eksaktra. Makna proposisi mengandung
pula saran, hal,
rencana, yang dapat
dipahami melalui konteks
(Djajasudarma, 1993).
Di bidang eksakta,
terutama matematika kita kenal dengan
apa yang disebut sudut siku-siku
makna proposisinya adalah
sembilan puluh derajat
(900).
Makna
proposisi dapat diterapkan
ke dalam sesuatu
yang pasti, tidak
mungkin dapat diubah lagi, misalnya, di dalam bahasa kita kenal proposisi:
a.
Satu tahun sama dengan dua belas bulan.
b.
Matahari terbit di ufuk timur.
c.
Satu hari sama dengan dua belas jam.
d.
Makhluk hidup akan mati.
e.
Surga adalah tempat yang sangat baik. Dan sebaginya.
10. Makna Pusat
Kridalaksana (1993: 133) memberikan arti
makna pusat (central meaning) adalah makna kata yang umumnya dimengerti
bilamana kata itu diberikan tanpa konteks. Makna pusat disebut juga makna tak
berciri.
Makna pusat (bahasa Inggris central
meaning) adalah makna yang dimiliki setiap kata
yang menjadi inti ujaran. Setiap ujaran, baik klausa, kalimat, maupun
wacana, memiliki makna
yang menjadi pusat
(inti) pembicaraan. Makna
pusat dapat hadir pada konteksnya atau tidak hadir pada konteks.
Seseorang
yang berdialog dapat
berkomunikasi dengan komunikatif tentang inti
suatu pembicaraan, serta
pembicara dan kawan
bicara akan memahami makna
pusat atau dialog karena penalaran yang kuat. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam ekspresi
berikut.
a.
Meja itu bundar.
b.
Ali seorang laki-laki.
c.
Harga-harga semakin memuncak.
d.
Akhir-akhir ini sering terjadi banjir.
e.
Ia menghidupi anak-istrinya
dengan bekerja memeras
keringat. Dan sebagainya.
11. Makna Piktorial
Makna
piktorial adalah makna
suatu kata yang
berhubungan dengan perasaan pendengar atau
pembaca. Misalnya, pada
situasi makan kita
berbicara tentang sesuatu yang
menjijikan dan menimbulkan
perasaan jijik bagi
si pendengar, sehingga ia
menghentikan kegiatan (aktivitas) makan (Djajasudarma, 1993).
Perasaan muncul segera setelah mendengar atau membaca sesuatu ekspresi
yang menjijikkan, atau
perasaan benci. Perasaan
dapat pula berupa
perasaan gembira, di samping perasaan-perasaan lainnya yang pernah atau
setiap saat dapat kita alami. Perhatikan contoh berikut, dapat kita tentukan
makna piktorialnya.
a.
Kenapa kausebut nama dia.
b.
Kakus itu kotor sekali.
c.
Ah, konyol dia.
d.
Ia tinggal di gang yang becek itu.
e.
Mobil itu hampir masuk jurang. Dan sebagainya.
12. Makna Idiomatik
Idiom
adalah satuan ujaran
yang maknanya tidak
dapat diramalkan dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.
Misalnya, secara gramatikal bentuk
menjual rumah bermakna
‘yang menjual menerima
uang dan yang membeli
menerima rumahnya’; bentuk menjual sepeda bermakna ‘yang menjual
menerima uang dan
yang membeli menerima
sepeda’; tetapi dalam bahasa
Indonesia bentuk menjual gigi,
tidaklah memiliki makna
seperti bentuk menjual rumah
ataupun menjual sepeda, melainkan
bermakna ‘tertawa dengan keras’. Jadi,
makna seperti yang
dimiliki bentuk menjual gigi, itu
yang disebut makna idiomatik.
Seperti contoh bentuk
lain, membanting tulang, meja
hijau, tulang punggung, dan sebagainya.
Kridalaksana (1993) menyebutnya
dengan makna kiasan
(transferred meaning,
figurative meaning) adalah
pemakaian kata dengan
makna yang tidak sebenarnya. Selanjutnya,
Djajasudarma (1993) memberikan
pengertian makna idiomatik adalah
makna leksikal yang
terbentuk dari beberapa
kata. Kata-kata yang disusun
dengan kombinasi kata
lain dapat pula menghasilkan makna
yang berlainan. Sebagian idiom
merupakan bentuk beku (tidak berubah),
artinya kombinasi kata-kata dalam
idiom berbenntuk tetap.
Bentuk tersebut tidak
dapat diubah berdasarkan kaidah
sintaksis yang berlaku
bagi suatu bahasa.
Makna idiomatik didapat di
dalam ungkapan dan
peribahasa. Seperti terlihat
pada ekspresi contoh berikut.
a.
Ia bekerja membanting tulang bertahun-tahun.
b.
Aku tidak akan bertekuk lutut di hadapan dia.
c.
Kasihan, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
d.
Seperti ayam mati kelaparan di atas tumpukan padi.
e.
Tidak baik menjadi orang cempala mulut (lancang).
Idiom dan peribahasa terdapat pada semua
bahasa, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memiliki kebudayaan
yang tinggi. Untuk mengenal makna idiomatik tidak ada jalan lain selain harus
melihat dan membaca di dalam kamus, khususnya kamus peribahasa dan kamus idiom.
C. Komponen Makna
Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu
terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna), yang membentuk
keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau
disebutkan satu per satu, berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya.
Umpamanya, kata ayah memiliki komponen makna/ + manusia/, /+ dewasa/, /+
jantan/, /+ kawin/, dan /+ punya anak. Perbedaan makna antara kata ayah dan ibu
hanyalah pada ciri makna atau komponen makna; ayah memiliki makna jantan,
sedangkan ibu tidak memiliki kata jantan.
Komponen Makna |
Ayah |
Ibu |
1. Insane |
+ |
+ |
2. Dewasa |
+ |
+ |
3. Jantan |
+ |
- |
4. kawin |
+ |
+ |
Keterangan : tanda + mempunyai komponen makna tersebut, dan tanda –
tidak mempunyai komponen makna tersebut.
Konsep analisis dua-dua ini (lazim disebut
anlisis biner) oleh para ahli kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna
suatu kata dengan kata lain. Dengan analisis biner ini kita juga dapat
menggolong-golongkan kata atau unsur leksikal sesuai dengan medan makna.
Ada tiga hal yang perlu dikemukakan
sehubungan dengan analisis biner tersebut.
Pertama, ada pasangan kata yang satu
diantaranya lebih bersifat netral atau umum sedangkan yang lain bersifat
khusus. Misalnya, pasangan kata siswa dan siswi. Kata siswa lebih bersifat umum
dan netral karena dapat termasuk “pria” dan “wanita”. Sebaliknya kata siswi
lebih bersifat khusus karena hanya mengenai “wanita” saja.
Kedua, ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasanganya karena
memang mungkin tidak ada, tetapi ada juga yang memiliki pasangan lebih dari
satu. Contoh yang sukar dicari pasanganya adalah kata-kata yang berkenaan
dengan nama warna. Contoh kedua yaitu contoh yang pasanganya lebih dari satu,
yaitu berdiri misalnya kata berdiri bukan hanya bisa dipertentangkan dengan
kata tidur, tetapi bisa saja dengan kata tiarap, rebah, duduk, jongkok dan
berbaring.
Ketiga, kita sering kali sukar mengatur
ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang lebih bersifat umum, dan
mana yang lebih bersifat khusus. Contohnya, ciri jantan dan dewasa, mana yang
lebih bersifat umum antara jantan dan dewasa. Bisa jantan, tetapi bisa juga
dewasa sebab tidak ada alasan bagi kita untuk menyebutkan ciri jantan lebih
bersifat umum daripada dewasa, begitu juga sebaliknya, karena ciri yang satu
tidak menyiratkan makna yang lain.
D. Kelemahan Analisis Komponen Makna
Menggunakan Pembagian Biner
Di samping memiliki beberapa mamfaat,
analisis komponen makna juga memiliki keterbatasan. Analisis komponen makna
tidak dapat diterapkan pada semua kata, karena komponen makna kata
berubah-ubah, bervariasi dan bertumpang tindih. Analisis komponen makna lebih
banyak dilaksanakan pada kelas kata nomina, belum banyak dilakukan pada kelas
kata verba, atau adjektiva, kata-kata dari kelas itu juga dapat diberi
ciri-ciri semantik.
Walaupun analisis komponen makna ini dengan
pembagian Biner banyak kelemahanya tetapi cara ini banyak manfaatnya untuk
memahami makna kalimat. Para tata bahasawan tranformasional juga telah
menggunakan teknik ini sehingga minat terhadap analisis komponen makna ini
menjadi meningkat. Analisis semantik kata yang dibuat seperti diatas tentu
banyak memberi manfaat dalam memahami makna-makna kalimat, tetapi pembuatan
daftar kosa kata dengan disertai ciri-ciri semantiknya secara lengkap bukanlah
pekerjaan yang mudah sebab memerlukan pengetahuan budaya, ketelitian, waktu,
dan tenaga yang cukup besar.
E. Kesesuaian Semantis dan Gramatis
Seorang bahasawan atau penutur suatu bahsa
dapat memahami dan menggunakan bahasanya bukanlah karena dia menguasai semua
kalimat yang ada dalam bahasanya itu, melainkan karena adanya kesesuaian
ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan unsur leksikal
lainnya. Contoh: kata, wanita dan mengandung mempunyai kesesuaian ciri
semantik. Tetapi antara jejaka dan mengandung tidak ada kesesuaian cirri
semantik. Karena pada kata wanita ada kesesuaian ciri (+ mengandung) sedangkan
pada kata jejaka ada ciri (+ non mengandung).
Ciri |
Wanita |
jejaka |
Insan |
+ |
+ |
Mengandung |
+ |
- |
Kesesuaian ciri berlaku bukan hanya pada
unsur-unsur leksikal saja, tetapi juga berlaku antara unsur leksikal dan
gramatikal. Contohnya: kata seekor hanya sesuai dengan kata ayam, tetapi tidak
sesuai dengan kata ayam-ayam, yaitu bentuk reduplikasi dari kata ayam.
Adanya kesesuaian unsur-unsur leksikal dan
integrasinya dengan unsur gramatikal sudah banyak diteliti orang sejalan dengan
pesatnya penelitian di bidang semantik sejak tahun 60-an. Pada ahli tata bahasa
generatif seperti Chfe (1970) dan Fillmore (1971) berpendapat bahwa setiap
unsur leksiakal mengandung ketentuan ketentuan penggunaannya yang sudah
terfatori yang bersifat grametikal dan bersifat semantik. Ketentuan-ketentuan
gramatikal memberikan kondisi-kondisi gramtikal yang berlaku jika suatu unsur
gramatikal yang hendak digunakan. Contohnya, kata kerja “ makan” dalam penggunaannya memerlukan adanya sebuah
subjek dan sebuah objek (walaupun di sini objek bisa dihilangkan).
Selain itu, ketentuan-ketentuan semantik
menunjukkan ciri-ciri semantis yang harus ada di dalam unsur-unsur leksikal
yang bersangkutan yang disebut di dalam ketentuan gramatikal tersebut . Kata
makan di atas menyiratkan bahwa subjeknya harus mengandung ciri makna
(+bernyawa) dan objeknya mengandung ciri makna (+makanan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar